Penyakit Difteri
Setelah ditetapkan kejadian luar biasa (KLB) akibat penyakit difteri yang menyerang lebih dari 20 provinsi sepanjang tahun 2017 di Indonesia yang sebabkan kesakitan dan kematian, kementerian kesehatan (kemenkes) mencanangkan ORI (Outbreak Response Imunization) sejak Desember 2017 yang dimulai di provinsi Jakarta, Banten dan Jawa Barat untuk mencegah penyebaran yang lebih luas akibat penyakit difteri.
ORI adalah strategi yang dilakukan untuk mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu yang berisiko tertular penyakit tersebut. Tujuan ORI untuk meningkatkan kekebalan populasi guna mencegah penyebaran yang lebih luas, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut (dalam hal ini difteri).
Penyakit difteri merupakan re-emerging infectious disease yaitu penyakit infeksi yang semula menjadi masalah kesehatan secara global atau dalam negara tertentu, melalui pengobatan dan imunisasi, kejadian penyakit tersebut menurun bahkan telah menghilang. Namun kemudian kejadiannya meningkat kembali secara bermakna sehingga kembali menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) perlu analisis situasi merebaknya kembali penyakit difteri yaitu cakupan imunisasi yang gagal mencapai target, atau imunisasi gagal membentuk kekebalan yang maksimal pada anak.
Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Vaksinasi difteri, pertussis dan tetanus tersedia secara gratis di fasilitas kesehatan pemerintah seperti puskesmas, sebagai bagian dari vaksin dasar rutin yang di berikan pada anak-anak.
ORI adalah strategi yang dilakukan untuk mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu yang berisiko tertular penyakit tersebut. Tujuan ORI untuk meningkatkan kekebalan populasi guna mencegah penyebaran yang lebih luas, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut (dalam hal ini difteri).
Penyakit difteri merupakan re-emerging infectious disease yaitu penyakit infeksi yang semula menjadi masalah kesehatan secara global atau dalam negara tertentu, melalui pengobatan dan imunisasi, kejadian penyakit tersebut menurun bahkan telah menghilang. Namun kemudian kejadiannya meningkat kembali secara bermakna sehingga kembali menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) perlu analisis situasi merebaknya kembali penyakit difteri yaitu cakupan imunisasi yang gagal mencapai target, atau imunisasi gagal membentuk kekebalan yang maksimal pada anak.
Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Vaksinasi difteri, pertussis dan tetanus tersedia secara gratis di fasilitas kesehatan pemerintah seperti puskesmas, sebagai bagian dari vaksin dasar rutin yang di berikan pada anak-anak.
Atas dasar latar belakang diatas, kita kenali yuk penyakit difteri
Definisi:
Infeksi bakteri yang dapat dicegah dengan imunisasi. Infeksi saluran respiratorik atas atau nasofaring menyebabkan selaput berwarna keabuan dan bila mengenai laring atau trakea menyebabkan stridor (ngorok) dan penyumbatan. Sekret hidung berwarna kemerahan. Toksin difteri sebabkan paralisis otot dan miokarditis yang berhubungan dengan angka kematian.
Penyebab:
Bakteri Corynebacterium diphtheriae, basil gram positif, tidak berkapsul dan nonmotil. Strain patogenik dapat sebabkan infeksi lokal saluran respiratorik atas, infeksi lokal kutan dan jarang infeksi sistemik. Eksotoksin dihubungkan dengan infeksi invasif lokal dan sistemik; namun dari laporan kasus menyebutkan ketiadaan pelepasan eksotoksin pada penyakit invasif.
Bakteri Corynebacterium diphtheriae basil gram positif |
Faktor predisposisi infeksi difteri:
- Tidak Imunisasi atau imunisasi yang tidak komplet
- Titer antitoksin menurun dengan pertambahan waktu dan menurunnya imunitas
- Populasi imunitas yang menurun, yang memungkinkan peningkatan prevalensi infeksi difteri
- Bepergian ke wilayah endemik atau area yang sedang terjadi epidemik
- Status imunokompromais, karena obat-obatan supresi imun, HIV atau diabetes dan alkoholism
- Status sosioekonomi yang rendah
- Perpindahan populasi dalam skala besar- berimplikasi pada penyebaran epidemik
- Infrastruktur sistem kesehatan yang buruk
- Overcrowding, seperti barak militer, penjara, panti sosial
Patofisiologi:
Padat penduduk, kesehatan yang jelek, ekonomi rendah, imunisasi tidak komplet dan imunokompromais adalah faktor risiko yang dihubungkan dengan transmisi penyakit ini. Human carriers adalah resorvoir utama infeksi. Pasien yang terinfeksi dan asimptomatik carriers dapat mentransmisi bakteri ini lewat percikan ludah saluran respirasi, sekresi nasofaringeal , dan fomites (jarang). Pada kasus penyakit kutan, kontak dengan eksudat luka bisa terjadi transmisi penyakit ke kulit.
Bakteri melekat di sel epitel mukosa dimana eksotoksin yang sebabkan reaksi inflamasi lokal diikuti dengan destruksi jaringan. Jaringan lokal yang terdestruksi membuat toksin mampu dibawa secara limfatik dan hematogen ke bagian lain dalam tubuh dan menyebabkan gangguan pada miokardium, ginjal dan sistem saraf. Strain nontoksigenik cenderung untuk memproduksi infeksi yang kurang berat.
Penyebaran:
Difteri dapat menular melalui orang ke orang, biasanya melalui percikan ludah saluran pernafasan, seperti batuk dan bersin. Dapat menyebar secara cepat bila kontak erat. Juga dapat terkena dari menyentuh luka terbuka (jarang) atau pakaian yang kontak dengan luka terbuka dari pasien penderita difteri, dan kontak dengan objek seperti mainan yang terdapat bakteri penyebab difteri. Seseorang yang tidak mendapat terapi dapat menularkan penyakit dalam 2 minggu setelah terkena penyakit difteri.
Tanda dan Gejala:
- Panas
- Badan terasa lemas
- Nyeri tenggorokan
- Pembengkakan kelenjar di leher (bull neck)
- Suara serak dan disfagia
- Serosanguineous atau seropurulent nasal discharge
- Dyspnea, respiratory stridor, wheezing, batuk
Pharyngeal diphtheria:
- General symptoms panas, halitosis, takikardi dan anxietas
- Tonsil dan faring: faring eritema dan edema, menebal, keabuan, selaput membran menutupi tonsil, palatum molle, orofaring dan uvula. Bila pseudomembran ini dilepas akan berdarah pada dasar mukosa.
- Leher: Limfadenopathy anterior dan cervical mandibular yang dikenal dengan bull neck. Pasien akan menahan kepalanya dalam posisi ekstensi dan dihubungkan dengan disfonia.
- Distress pernafasan dimanifestasikan dalam stridor, wheezing, sianosis dan retraksi otot.
Toksin akan merusak jaringan sehat di sistem saluran pernafasan, dalam 2-3 hari timbul jaringan mati tebal, ditutupi selaput keabuan yang dapat terbentuk di hidung atau tenggorokan. Selaput tebal keabuan ini disebut "pseudomembrane" yang dapat menutupi jaringan di hidung, tonsil, pita suara dan tenggorokan, membuat sangat sulit untuk bernafas dan menelan. Toksin dapat ke aliran darah dan sebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan susunan saraf yang mengakibatkan kematian.
Diagnosis:
Berdasarkan tanda dan gejala
Pemeriksaan Penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan bakteriologi (pewarnaan gram)
- Kultur
- Pemeriksaan toksigenitas
Pemeriksaan Penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan bakteriologi (pewarnaan gram)
- Kultur
- Pemeriksaan toksigenitas
Medical Management:
Pasien dengan tersangka difteri harus diberikan antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang adekuat, jaga saluran nafas tetap baik dan ditempatkan diruangan isolasi. Penting untuk memulai terapi yang benar bila dokter menduga seseorang dengan difteri tanpa harus konfirmasi laboratorium, Di United States tanpa diberikan treatment rata-rata 50% dari pasien yang terinfeksi meninggal.
Antitoksin:
40.000 unit ADS IM atau IV sesegera mungkin, karena jika terlambat meningkatkan mortalitas
sebelumnya dilakukan skin test.
Antibiotik:
Antibiotik rekomendasi untuk difteri adalah eritromisin oral atau injeksi (40 mg/kg/hari; maksimum 2 gr/hari) selama 14 hari atau prokain penisilin G harian IM (300.000 unit tiap 12 jam untuk BB 10 kg atau kurang, dan 600.0000 unit tiap 12 jam untuk BB lebih dari 10 kg) selama 14 hari. Oral penisilin V 250 mg 4x sehari dapat diberikan sebagai gantinya injeksi untuk yang masih bisa menelan. Penyakit ini biasanya tidak menular dalam 48 jam setelah antibiotik diberikan. Eliminasi organisme dibuktikan dengan kultur negatif 2x berturut-turut setelah terapi selesai.
Komplikasi:
- Sumbatan jalan nafas
- Kerusakan otot jantung (myocarditis)
- Kerusakan sistem saraf (polyneuropathy)
- Hilangnya kemampuan untuk bergerak (paralysis)
- Infeksi paru ( gagal nafas atau pneumonia)
- Neuritis optika
- Kematian
- Neuritis optika
- Kematian
Untuk beberapa orang, difteri dapat sebabkan kematian. Bahkan yang sedang dalam pengobatan, sekitar 1 dari 10 orang penderita pasien difteri meninggal. Tanpa pengobatan, 1 orang dari 2 pasien meninggal.
Vaksin:
- Di daerah KLB dilakukan outbreak response immunization (ORI) yaitu pemberian imunisasi DPT/DT kepada semua anak berumur <15 tahun yang tinggal di daerah KLB (umur 2-7 tahun diberikan DPT, >7 tahun diberikan DT atau dT)
- Di daerah non KLB diperlukan kesiapsiagaan dengan memperhatikan kelengkapan status imunisasi setiap anak yang berobat. Segera lengkapi apabila status imunisasi belum lengkap (3x sebelum umur 1 tahun, 1x pada tahun kedua, 1x pada umur 5 tahun atau sebelum masuk sekolah dasar).
References:
WHO Indonesia. 2017. Update on Diphtheria In Indonesia December 2017. Diambil dari www.searo.who.int/immunization/diphtheria-in-indonesia-one-pager.pdf. (27 April 2018).
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia- Satuan Tugas Imunisasi. PEndapat Ikatan Dokter Anak Indonesia Kejadian Luar Biasa Difteri. Diambil dari www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri. (25 April 2018).
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diperbaharui 16 Desember 2017. FAQ Seputar Kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri. Diambil dari www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-response-immunization-ori-difteri. (25 April 2018).
WHO Edisi Bahasa Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO Indonesia bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
M, Bruce. 2017. Diphtheria. Diambil dari https://emedicine.medscape.com/article/782051-overview. (24 April 2018).
WHO Indonesia. 2018. Indonesia Started Outbreak Response Diphtheria Immunization. Diambil dari www.searo.who.int/Indonesia/topics/immunization/ori/en/. ( 28 April 2018).
Centers For Disease Control And Prevention. 2016. Diphtheria. Diambil dari www.cdc.gov/diphtheria/index.html. (23 April 2018).
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Jabar Perwakilan Bekasi. 2018. Bekasi Pediatric Update 2018 Annual Scientific Meeting Symposium & Workshop. Badan Penerbit IDAI: Bekasi.
Komentar
Posting Komentar