Menjawab Pertanyaan dan Isu Salah di Masyarakat Seputar Imunisasi

Saat mengikuti Bekasi Pediatric Update 2018 Annual Scientific Meeting symposium dan workshop yang diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada judul materi yang sangat menarik seputar vaksin yaitu menjawab pertanyaan dan isu salah di masyarakat seputar imunisasi. Presentasi ini disampaikan oleh dr. Soedjatmiko, Sp. A(K), MSi yang berada di divisi tumbuh kembang-pediatri sosial, departemen ilmu kesehatan anak FKUI, RSCM yang disambut antusias oleh para peserta. Kutipan artikel ini diambil dari buku Bekasi pediatric update 2018 yang dikeluarkan oleh IDAI cabang Jawa Barat Perwakilan Bekasi.

Benarkah imunisasi AMAN dan BERMANFAAT?
Benar. Buktinya 194 negara rutin mengimunisasi jutaan bayi dan anak setiap hari kerja diawasi oleh beberapa institusi resmi yang meneliti dan mengawasi imunisasi. Semua institusi resmi menyatakan bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah sakit berat, cacat dan kematian bayi, balita sampai remaja. Institusi-institusi tersebut anggotanya terdiri dari para ahli: penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi, farmakologi, toksikologi, farmasi, epidemiologi, biostatiska dll. Karena  terbukti aman dan bermanfaat maka semua negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90%. Tidak ada negara yang melarang imunisasi.

Benarkah di semua negara ada badan resmi yang mengawasi program imunisasi?
Benar, disemua negara ada ahli-ahli di badan-badan resmi yang mengawasi program imunisasi yang anggotanya terdiri dari para ahli tersebut diatas. Contohnya di Indonesia terdapat banyak institusi yang mengawasi program imunisasi, antara lain badan POM (pengawasan obat dan makanan), Badan Litbangkes, Dit Surveilans Imunisasi Kesehatan Matra Kenkes, Indonesia Technical Advisory Group for Immunization (ITAGI), Komnas/Komda Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Persatuan Ahli Penyakit Dalam, badan penelitian di Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat di beberapa universitas di Indonesia dll. Semua institusi dan badan tersebut menyatakan bahwa imunisasi aman, dan bermanfaat untuk mencegah penularan penyakit berbahaya.

Konon ada "ilmuwan" menyatakan bahwa "imunisasi berbahaya"?
Tidak benar imunisasi berbahaya. "Ilmuwan" yang sering dikutip di buku, tabloid, milis blog, twitter, atau facebook, ternyata bukan ahli vaksin, melainkan sarjana hukum, dokter spesialis bedah, statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, wartawan, politikus dan lain-lain sehingga pengetahuan dan pengalaman mereka tentang vaksin sangat sedikit, atau berdasarkan pengalaman pribadi. Sebagian besar mereka aktif pada periode 1960-1990an, atau mengutip sumber informasi pada periode tersebut, sehingga sumber datanya sangat kuno. Padahal jenis dan teknologi pembuatan vaksin telah mengalami kemajuan yang pesat sehingga sangat berbeda dengan keadaan di tahun 1960-1990an.

Benarkah "ilmuwan" yang sering dikutip buku, tabloid, milis, ternyata bukan ahli vaksin?
Ya, mereka semua bukan ahli vaksin. Contoh: Dr. Bernard Greenberg (biostatiska tahun 1950), DR Bernard Rimland (psikolog), Dr. William Hay (kolumnis), Dr. Richard Moskowitz (homeopatik), dr. Harris Coulter, phD (penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z. Miller (psikolog, jurnalis), WB Clark (awal tahun 1950), Bernice Eddy (bakteriologis tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr (sarjana hukum), Dr. WB Clarke (ahli kanker, 1950an), Dr. Bernard Greenberg (1957-1959).

Tidak validkah penelitian Dr. Wakefield tentang MMR menyebabkan autism?
Ya, penelitiannya tidak valid. Dr. Wakefield bukan ahli vaksin, dia dokter spesialis bedah. Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya berdasarkan sampel 12 anak. Sedangkan lebih dari 26 penelitian lain anak yang dilakukan oleh berbagai ahli menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan MMR dan autism dan telah dipublikasikan oleh AAP (American Academic of Pediatric).
Setelah diaudit oleh tim ahli penelitian di Inggris, terbukti bahwa metode penelitian Wakefield tidak shahih, sehingga kesimpulannya tidak benar. Hal ini telah diumumkan di majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal, Februari 2011, sehingga Wakefield dicabut keanggotaanya dan izin prakteknya.

Benarkah isu disemua vaksin terdapat zat-zat berbahaya yang dapat merusak otak?
Tidak benar. Isu itu karena "ilmuwan" tersebut diatas tidak mengerti isi vaksin, manfaat dan batas keamanan zat-zat di dalam vaksin.
Contoh: Yang berbahaya untuk kesehatan adalah METIL merkuri. Di dalam vaksin TIDAK ADA METIL merkuri, hanya ada ETIL merkuri yang tidak berbahaya, walaupun namanya mirip karena sifat etil merkuri sangat berbeda dari metil merkuri,  walaupun namanya mirip. (Seperti nama air yang mirip: air mineral, air keras, air raksa, namanya mirip tetapi sifatnya sangat berbeda).
Jumlah etil merkuri yang ada dalam zat timerosal yang masuk ke tubuh bayi melalui vaksin pun sangat sedikit sekitar 150mcg/kgbb/6 bulan, atau sekitar 6mcg/kgbb/minggu, sedangkan batas aman menurut WHO adalah jauh lebih tinggi (159mcg/kgbb/minggu). Oleh karena itu vaksin yang mengandung etil merkuri dosis sangat rendah dinyatakan aman oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.
Atas dasar itu, tidak ada negara yang melarang imunisasi, bahkan semua negara berusaha untuk memberikan imunisasi >90% bayi dan balita untuk mencegah wabah.

Benarkah isu bahwa imunisasi justru melemahkan kekebalan tubuh bayi dan anak?
Tidak benar. Kadar antibodi (zat kekebalan) bayi dan anak yang telah diimunisasi bila diukur terbukti jauh lebih tinggi daripada bayi, anak yang tidak diimunisasi. Berarti imunisasi justru merangsang dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, agar sistem tersebut kelak mampu melawan kuman yang masuk ke dalam tubuh.

Benarkah isu bahwa vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, manusia yang sengaja digugurkan?
Tidak benar. Isu itu bersumber dari "ilmuwan" 50-60 tahun lalu (tahun 1961-1962). Teknologi pembuatan vaksin sudah lama berkembang sangat pesat dan sangat jauh berbeda dengan pembuatan vaksin tahun 1950an. Tidak ada lagi vaksin yang terbuat dari nanah atau dibiakkan embrio anjing, babi atau manusia.

Benarkah vaksin mengandung lemak babi?
Tidak benar. Pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15-20 tahun lalu, ketika proses panen bibit beberapa vaksin bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total dengan cara ultra filterisasi ribuan kali-kali, sehingga pada vaksin yang diberikan kepada bayi balita tidak terdapat tripsin. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium yang canggih. Oleh karena itu sampai saat ini tidak ada negara yang melarang penggunaan vaksin. Contoh: vaksin meningokokus haji diwajibkan oleh pemerintah Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah cacat dan kematian akibat radang otak karena meningokokus.    

Benarkah di dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada ketentuan hukum yang menyatakan bahwa imunisasi hukumnya wajib?
Benar. Dalam fatwa MUI no. 04 tahun 2016 pada bagian kedua tentang ketentuan hukum no. 5 tertulis: "Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, sakit berat atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib". Untuk memahami fatwa MUI sebaiknya dibaca seluruh isi fatwa yang terdiri dari 8 halaman.

Benarkah vaksin untuk program imunisasi di Indonesia buatan Amerika?
Tidak benar. Semua vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan BUMN milik pemerintah Indonesia (PT Biofarma Bandung), pabrik vaksin yang telah berpengalaman selama lebih dari 120 tahun. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin WHO.

Benarkah vaksin Program Imunisasi di Indonesia buatan PT Biofarma juga dipakai oleh 120 negara lain termasuk 36 negara islam?
Benar. Karena vaksin PT Biofarma kualitasnya telah diakui oleh WHO dan banyak negara yang  telah lama menggunakan vaksin PT Biofarma mengakui kualitasnya, maka vaksin-vaksin tersebut dibeli dan digunakan oleh 126 negara lain, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama islam.

Benarkah isu program imunisasi hanya dinegara muslim dan miskin agar menjadi bangsa yang lemah?
Tidak benar. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara, termasuk negara-negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, dan negara-negara nonmuslim. Kalau imunisasi bisa melemahkan bangsa, maka semua negara-negara itu bangsanya akan lemah, karena mereka sampai sekarang tetap melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu, dan jenis vaksinnya lebih banyak. Kenyatannya: penduduk dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat, jarang terjadi wabah, angka kematian lebih rendah. Penduduk dengan cakupan imunisasi rendah sering terjadi wabah, sakit berat, cacat dan kematian. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan bangsa terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan.

Benarkah isu di buku, tabloid bahwa di Amerika banyak kematian bayi akibat vaksin?
Tidak benar. Isu itu karena penulis tidak paham data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) dari FDA (Food & Drug Agency, semacam Badan POM Indonesia) yang melaporkan bahwa di Amerika tahun 1991-1994 ada 38.787 kejadian ikutan pasca imunisasi. Angka tersebut adalah semua keluhan seperti: nyeri, gatal, merah, bengkak dibekas suntikan, demam, pusing, muntah dan gejala lain yang rutin dicatat kalau ada laporan masuk. Bukan angka kematian akibat vaksin. Karena penulis buku/tabloid tidak mengerti makna adverse event following immunization (KIPI) maka angka tersebut disebarkan sebagai angka kematian bayi 1-3 bulan.
Kalau benar angka kematian di AS akibat vaksin begitu tinggi, tentu FDA AS akan heboh dan menghentikan imunisasi. Faktanya Amerika tidak pernah menghentikan imunisasi bahkan mempertahankan cakupan semua imunisasi diatas 90%. Di Indonesia gejala ikutan pasca imunisasi juga dicatat dan dipantau oleh suatu badan yang disebut Komnas dan Komda KIPI (Komite Nasional dan Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi).

Benarkah berita di media massa bahwa banyak bayi balita cacat atau meninggal akibat imunisasi di Indonesia?
Tidak benar. Isu ini beredar di media massa karena wartawan seringkali menyimpulkan sendiri tanpa konfirmasi kepada profesi yang kompeten. Untuk menyimpulkan hubungan sebab akibat dalam profesi kedokteran tidak bisa disimpulkan oleh 1-2 orang hanya berdasarkan prakiraan semata, tetapi harus dikaji oleh suatu tim ahli berdasarkan informasi yang lengkap: keterangan keluarga, petugas kesehatan yang memberikan imunisasi, dokter yang merawat di rumah sakit, gejala yang timbul, jarak waktu timbulnya gejala, perkembangan gejala, hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, cairan otak, rontgen, otopsi dll. Kemudian dikaji oleh Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari sekelompok pakar penyakit infeksi, imunisasi, imunologi, mikrobiologi, epidemiologi dll. Tidak dapat disimpulkan oleh 1-2 orang dengan prakiraan-prakiraan saja.

Apa penyebab cacat atau kematian beberapa anak yang diberitakan oleh media massa?
Setelah dianalisis oleh sekelompok tim ahli dari Fakultas Kedokteran berdasarkan informasi yang lengkap termasuk pemeriksaan fisik, hasil laboratorium darah, cairan otak, roentgen dan otopsi (bedah mayat) maka beberapa anak tersebut cacat atau meninggal bukan karena imunisasi tetapi karena penyakit lain: tuberkulosis tulang belakang, radang otak, perdarahan otak, atau penyakit lain yang sudah ada sebelum diimunisasi.

Demam, bengkak, nyeri, kemerahan setelah imunisasi membuktikan bahwa vaksin berbahaya?
Tidak benar. Demam, nyeri, kemerahan, bengkak, gatal dibekas suntikan adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tesebut akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu dibawa ke Puskesmas atau Rumah sakit terdekat untuk diperiksa dan mendapat pengobatan.

Benarkah isu di tabloid, milis bahwa program imunisasi gagal di banyak negara?
Tidak benar. Isu-isu tersebut bersumber dari data yang sangat kuno (50-150 tahun lalu) hanya dari 1-2 negara saja, sehingga hasilnya sangat berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena jenis vaksin dan teknologi cara pembuatannya sangat berbeda.
Contoh: Isu imunisasi cacar variola gagal, berdasarkan data di Inggris tahun 1867-1880 dan Jepang tahun 1872-1892 (sangat kuno). Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar variola di seluruh dunia sejak tahun 1980 seluruh dunia bebas cacar variola. Isu imunisasi difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun 1939. Fakta sampai sekarang, vaksin difetri dipakai di seluruh dunia dan terbukti mampu menurunkan kasus difteri sebanyak 95%. Isu imunisasi pertussis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova Scottia tahun 1986. Faktanya sampai sekarang vaksin pertussis dipakai di seluruh dunia dan berhasil menurunkan kasus pertussis lebih dari 80%. Isu imunisasi campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika. Faktanya sampai sekarang vaksin campak dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan jumlah kasus campak 68-90%.

Benarkah isu "program imunisasi gagal" karena masih banyak penyakit menular walaupun sudah sejak lama ada program imunisasi rutin?
Tidak benar, karena tidak semua penyakit menular dapat dicegah dengan imunisasi. Sementara ini imunisasi bisa mencegah penyakit: hepatitis A, B, tuberkulosis, polio, difteri, pertussis, tetanus, radang paru, radang otak, diare berat rotavirus, campak berat, influenza, cacar air, demam tifoid, radang otak meningokokus dan kanker leher rahim. Dengan program imunisasi yang telah dilaksanakan selama ini maka wabah, sakit berat, cacat dan kematian akibat penyakit tersebut terbukti menurun dengan nyata.
Beberapa penyakit lain memang belum dapat dicegah dengan imunisasi antara lain: demam berdarah dengue, malaria, HIV, meningitis virus dll. Pencegahannya antara lain dengan ASI, makanan bergizi lengkap dan seimbang, kebersihan badan, rumah, lingkungan, air bersih untuk memasak, minum dan mandi dan pengobatan segera.

Benarkah isu "program imunisasi gagal", karena setelah diimunisasi bayi balita masih bisa tertular penyakit tersebut?
Tidak benar program imunisasi gagal, karena perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah diimunisasi masih bisa tertular penyakit tersebut, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya. Sedangkan bayi balita yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat atau meninggal.

Benarkah imunisasi bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita?
Benar. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa: dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna. Oleh karena itu saat ini program imunisasi dilakukan terus menerus dilakukan di 194 negara, di negara-negara dengan sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Semua negara berusaha meningkatkan cakupan agar lebih dari 90%. Di Indonesia, terjadi wabah polio 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak diimunisasi polio, maka menyebabkan 351 anak lumpuh permanen. Setelah digencarkan imunisasi polio terus menerus, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru. Demikian pula penurunan berbagai penyakit lain (difteri, tetanus, pertussis, hepatitis B, campak dll) di Indonesia dan di negara-negara lain.

Kalau penyakitnya sudah jarang, tidak perlu imunisasi?
Tetap perlu imunisasi agar cakupan tetap tinggi. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menjadi sangat berkurang karena keberhasilan cakupan imunisasi yang tinggi (lebih dari 80-90% bayi balita diimunisasi), sehingga penularan terhenti, tidak dapat berkembang biak, tidak terjadi wabah. Kalau banyak bayi balita tidak diimunisasi, maka penyakit tersebut akan mewabah lagi dengan cepat menimbulkan cacat atau kematian.
Contoh: penyakit polio, karena lebih 90% bayi balita diimunisasi maka sejak tahun 2002 sampai 2005 tidak ada lagi di Indonesia. Tetapi kemudian banyak bayi yang lahir sesudah tahun 2002 tidak diimunisasi polio maka pada tahun 2005 terjadi wabah polio dari Sukabumi menyebar ke Banten, Lampung, Jawa Tengah, Madura periode sejak tahun 1990-2000an cakupan imunisasi DPT lebih dari 80%, maka sangat jarang terjadi difteri. Sejak tahun 2004 banyak orang tua tidak mau bayinya di imunisasi, maka sejak 2008 sampai 2013 terjadi wabah difteri yang mengakibatkan 1798 bayi dan anak di rawat di RS dan 94 meninggal.

Bagaimana orang tua harus bersikap terhadap isu-isu yang menyesatkan tersebut?
Sebaiknya semua bayi dan balita diimunisasi secara teratur dan lengkap. Saat ini 194 negara di seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian. Terbukti negara-negara tersebut terus menerus melaksanakan program imunisasi, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85%.
Badan penelitian di berbagai negara membuktikan kalau semakin banyak bayi balita tidak diimunisasi akan terjadi wabah, sakit berat, cacat atau mati, dan telah terbukti di Indonesia: wabah penyakit polio di Jawa Barat tahun 2005-2006 (351 anak lumpuh permanen), wabah campak dibeberapa provinsi tahun 2009-2010 (5818 anak dirawat di rumah sakit, meninggal 16), wabah difteri di Jawa Timur tahun 2010-Mei 2012 (1789 anak dirawat di rumah sakit, 94 meninggal).

Bisakah ASI, gizi, suplemen herbal menggantikan imunisasi?
Tidak bisa menggantikan imunisasi dengan ASI saja atau herbal saja. Tidak ada penelitian sahih ahli yang menyatakan imunisasi bisa digantikan oleh ASI, gizi, suplemen herbal, karena kekebalan yang dibentuk imunisasi sangat spesifik. ASI, gizi, suplemen herbal, kebersihan akan memperkuat pertahanan tubuh secara umum, namun tidak membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu yang berbahaya. Kalau jumlah kuman banyak dan ganas, perlindungan umum tidak mampu melindungi bayi, sehingga masih bisa sakit berat, cacat atau mati.
Buktinya di semua negara kaya dengan gizi baik dan lingkungan bersih para ahli tetap melakukan program imunisasi dengan cakupan lebih dari 85% bayi balita.
Imunisasi akan merangsang pembentukan kekebalan yang spesifik terhadap kuman, virus atau racun kuman tertentu. Kekebalan spesifik bekerja lebih cepat, efektif dan efisien untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya.

Bolehkah selain diberikan imunisasi, ditambah dengan suplemen gizi dll?
Boleh. Selain diberi imunisasi, bayi tetap diberi ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap  dan seimbang, kebersihan badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan. Suplemen dapat diberikan sesuai kebutuhan individual yang bervariasi. Selain itu bayi harus mendapat perhatian dan kasih sayang dan stimulasi bermain untuk mengembangkan kecerdasan, kreatifitas dan prilaku yang baik.

Benarkah bayi dan balita yang TIDAK DIIMUNISASI LENGKAP RAWAN TERTULAR PENYAKIT BERBAHAYA?
Benar. Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai negara membuktikan bahwa bayi balita yang tidak diimunisasi lengkap tidak mempunyai kekebalan spesifik yang memadai terhadap penyakit-penyakit menular berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan menderita sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.

Benarkah wabah akan terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi?
Benar. Itu sudah terbukti di Asia, Afrika bahkan Eropa dan Amerika, termasuk di Indonesia.
Contoh: Wabah polio 2005-2006 di Sukabumi karena banyak bayi balita tidak diimunisasi polio, dalam beberapa bulan virus polio menyebar cepat ke Banten, Lampung, Madura, sampai Aceh, menyebabkan 351 anak lumpuh permanen.
Wabah difteri dari Jawa Timur menyebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Barat, DKI Jakarta, tahun 2009-Mei 2012 menyebabkan 1789 anak dirawat di rumah sakit, 94 meninggal terutama yang imunisasinya belum lengkap atau belum pernah imunisasi DPT. Demikian pula wabah difteri pada tahun 2017 karena banyak balita dan anak usia sekolah yang imunisasi difterinya masih kurang, sehingga wabah difteri dengan cepat meluas ke banyak provinsi di Indonesia dan menyebabkan banyak kematian.
Untuk mencegah penularan penyakit berbahaya, wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi balita kita, mari segera kita lengkapi imunisasi bayi balita kita.

Reference:
Soedjatmiko. 2018. Bekasi Pediatric Update 2018 Annual Scientific Meeting Symposium & Workshop. Bekasi: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belanja di Toko Total Buah Segar

Review Lipstik Merah Make Over Matte Lip Cream

Wisata Ke Kuntum Farmfield